Muslimahdaily - Kasus pernikahan dini yang melibatkan seorang siswa SMK berusia 17 tahun dan seorang siswi SMP berusia 15 tahun di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), kini menjadi sorotan tajam dan memicu keprihatinan luas. Upaya pemerintah desa setempat untuk mencegah pernikahan tersebut dilaporkan menemui jalan buntu, sementara pemerintah pusat dan lembaga perlindungan anak mengecam keras praktik yang dinilai merampas hak-hak dasar anak.
Kepala Desa Beraim, Lalu Atmaja, mengungkapkan bahwa pihaknya telah berupaya maksimal untuk melarang dan menggagalkan pernikahan di bawah umur tersebut. "Jadi upaya kami sudah optimal untuk melarang pernikahan ini," ujar Atmaja.
Ia menambahkan bahwa pemerintah desa bahkan telah dua kali mencoba mengintervensi, termasuk meminta agar prosesi adat nyongkolan (arak-arakan pengantin) tidak menggunakan iringan alat musik, namun permintaan tersebut diabaikan oleh pihak keluarga kedua mempelai.
Fenomena ini mengundang reaksi keras dari Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan.
"Kami sangat prihatin atas masih berlangsungnya praktik perkawinan anak yang kerap dibalut dalam dalih budaya merarik (kawin lari), khususnya di NTB yang termasuk daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia," kata Veronica.
Ia menegaskan bahwa perkawinan anak secara fundamental merampas hak-hak dasar mereka, termasuk hak atas pendidikan, kesehatan, dan tumbuh kembang yang optimal. Veronica juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia minimal menikah adalah 19 tahun bagi pria dan wanita.
"Kami meminta semua pihak untuk tidak menormalisasi praktik perkawinan anak dengan alasan apapun," tegasnya.
Senada dengan itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Rahmayanti, mengecam keras pernikahan di bawah umur ini dan mendesak adanya sanksi tegas bagi semua pihak yang terlibat dalam memfasilitasinya.
"Ini juga harus ada sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam perkawinan anak ini," kata Ai.
Menurutnya, pernikahan anak seringkali dilakukan di luar prosedur resmi Kantor Urusan Agama (KUA) dan tanpa melalui mekanisme dispensasi kawin dari pengadilan.
"Artinya ini menikah di bawah tangan atau siri, yang melakukan biasanya oknum seperti imam desa atau sebutan penghulunya. Ini juga harus diberikan sanksi tegas," lanjutnya.
Ai juga menyoroti bahwa adat merarik kerap disalahpahami, di mana sanksi adat justru terkadang dibebankan kepada anak, padahal tanggung jawab utama seharusnya berada pada orang tua dan orang dewasa yang terlibat.
Sementara itu, terkait video mempelai perempuan yang viral dan memicu berbagai spekulasi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, mengimbau masyarakat untuk tidak membuat kesimpulan dini mengenai kondisi psikologis anak tersebut. "Kami belum bisa memastikan itu. Nanti pada proses pemeriksaan kepolisian. Kita tidak bisa menjustifikasi kenapa-kenapa, semua harus melalui pemeriksaan tenaga medis, dan itu akan kita lakukan," ujarnya, menekankan pentingnya asesmen profesional.
Kasus pernikahan dini di Lombok Tengah ini sekali lagi memantik perdebatan sengit mengenai benturan antara tradisi budaya yang disalahartikan dengan urgensi perlindungan anak dan penegakan hukum. Diperlukan upaya komprehensif dan kolaboratif dari semua elemen masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, hingga pemerintah untuk mengakhiri praktik perkawinan anak yang merugikan masa depan generasi bangsa.