Muslimahdaily - Dalam setiap ibadah shalat, setiap gerakan dan ucapan memiliki makna serta aturan presisi, termasuk lafadz takbir "Allahu Akbar" yang merupakan salah satu rukun qauli (ucapan). Sedikit kekeliruan dalam pengucapan, terutama pada intonasi dan panjang pendeknya, ternyata dapat membawa konsekuensi makna yang berbeda secara signifikan, bahkan berpotensi mempengaruhi sahnya shalat.
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang lebih akrab disapa Gus Baha, baru-baru ini memberikan pencerahan mendalam mengenai krusialnya pengucapan hamzah pada lafadz "Allah" saat takbiratul ihram dan takbir lainnya dalam shalat.
Beliau menjelaskan bahwa salah satu alasan mendasar dalam fikih mengapa hamzah pada lafadz "Allah" tidak boleh dibaca terlalu panjang adalah karena hal tersebut berpotensi mengubah kalimat berita menjadi istifham (kalimat tanya).
Risiko "Istifham" dalam Lafadz Takbir
Mengutip dari sebuah kajian yang diunggah di kanal YouTube STAI Al-Anwar pada Senin (26 Februari 2025), Gus Baha menguraikan bahwa dalam kaidah ilmu nahwu (tata bahasa Arab), istifham adalah kalimat yang berfungsi untuk bertanya atau meminta informasi. "Maka menurut Gus Baha, pada bab shalat di kitab Fathul Muin, ketika ada orang yang takbir shalat lalu mengucapkan hamzah pada lafadz Allah terlalu lama (dipanjangkan), maka dalam kondisi normal (jika ia tahu dan sengaja), shalatnya tidak sah. Karena keluar dari tujuan takbir (yang bersifat pernyataan)," papar beliau.
"Gara-gara lafadz Allah dalam takbir dibaca panjang, maka berakibat ada kepastian lafadz ini terdapat hamzah istifham. Kalau tujuan mengucapkan lafadz Allah (sebagai pernyataan kebesaran-Nya), pasti hamzahnya tidak panjang," lanjut Gus Baha.
Beliau menjelaskan bahwa salah satu ciri huruf istifham adalah hamzah yang dibaca dengan intonasi memanjang. Konsekuensinya, jika hamzah pada lafadz "Allahu Akbar" (الله اكبر) dibaca panjang menyerupai pertanyaan, artinya bisa bergeser menjadi "Apakah (benar) Allah Maha Besar?". Sikap yang menyiratkan keraguan terhadap kebesaran Allah ini, menurut Gus Baha, bisa berdampak sangat serius. "Ucapan seperti itu bisa dikategorikan kafir resmi. Karena meragukan Allah," bebernya, merujuk pada pandangan fikih yang ketat.
Keringanan bagi yang Tidak Tahu
Namun, di sinilah Gus Baha menunjukkan kedalaman ilmu dan kearifannya dengan memberikan perspektif yang lebih kontekstual dan penuh rahmat. Beliau berpendapat bahwa ada keringanan (rukhsah) bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan mengenai ilmu nahwu terkait bab istifham ini, seperti orang tua di pedesaan, mereka yang baru belajar shalat, dan orang-orang yang sama sekali tidak memiliki niat untuk mengubah makna agung "Allahu Akbar" menjadi sebuah pertanyaan.
"Meskipun begitu (ada potensi tidak sah), saya berpendapat bahwa shalatnya (orang yang tidak tahu) tetap sah, karena (meskipun lafadznya) disebut sebagai istifham (oleh ahli nahwu), yang mengucapkan itu tidak paham maksud dari istifham dan cara bacanya," imbuh Gus Baha. Alasan utama beliau adalah rasa kasihannya jika shalat seseorang langsung divonis tidak sah, padahal ketidaktahuan dan ketulusan niat melatarbelakangi kekeliruan lafadz tersebut.
"Ketika dibilang tidak sah, ternyata yang mengucapkan itu orang-orang tua yang ada di kampung, kan niatnya tidak meragukan Allah itu besar atau tidak; niatnya ya menyebutkan Allah itu besar," ujarnya, menekankan bahwa keyakinan mereka akan kemahabesaran Allah tetap utuh meski terjadi kekeliruan lafadz karena keterbatasan ilmu.
Lebih jauh, Gus Baha juga sangat tidak sependapat jika orang yang tidak memahami bab istifham ini lantas dengan mudah dicap murtad (keluar dari Islam). Menurutnya, dampak penghukuman seberat itu tidak proporsional, apalagi bagi seseorang yang baru mulai mengenal Islam dan belajar melaksanakan shalat. "Mau kalian cap sebagai murtad? Orang dia itu tidak tahu apa itu istifham. Lha orang dia baru saja mulai coba shalat kemarin, orang kayak begini kan kasihan. Masak baru belajar shalat, sekali praktik lalu dianggap murtad, kan kasihan. Dia belajar shalat itu kan justru untuk menghindari murtad," tegasnya dengan nada penuh empati.
Gus Baha pun mengingatkan kepada para tokoh agama, kiai, dan penceramah yang pernah mengkaji kitab Fathul Muin dan mungkin cenderung menyatakan shalat tidak sah secara mutlak dalam kasus pemanjangan hamzah ini, agar turut mempertimbangkan aspek ketidaktahuan dan niat dari pelakunya.
"Saya kalau ketemu kiai-kiai kampung yang pernah ngaji dan bilang hal ini (shalatnya) tidak sah, saya pasti bilang sah. Lalu dibantah, ‘Kan itu jadi istifham, Gus?’ Saya jawab, ‘Itu kan kalau katamu (sebagai ahli nahwu), lha yang mengucapkan tidak niat istifham kok.’ Barakah tidak tahu itu malah menjadikan hukumnya sah (bagi mereka)," tutupnya, menyoroti bagaimana ketidaktahuan dalam konteks tertentu bisa menjadi sebab keringanan hukum karena niat yang lurus.
Penting untuk digarisbawahi, penjelasan mendalam Gus Baha ini memberikan penekanan bahwa keringanan tersebut berlaku spesifik bagi mereka yang tidak mengetahui kaidah ilmu nahwu terkait istifham. Adapun bagi seseorang yang memiliki ilmu, mengerti bab istifham, namun sengaja memanjangkan hamzah pada lafadz "Allah" dengan niat bertanya atau bermain-main dengan lafadz takbir, maka kaidah awal (potensi shalat tidak sah dan dampak serius lainnya) tetap berlaku baginya.
Penjelasan Gus Baha ini sekali lagi mengingatkan kita akan pentingnya terus menuntut ilmu agama dengan bimbingan guru yang benar, sekaligus menunjukkan betapa syariat Islam memiliki dimensi keluasan, kedalaman, dan rahmat yang seringkali memerlukan pemahaman kontekstual dan penuh kearifan.