Muslimahdaily - Istilah Haji Mabrur seringkali dipahami sebagai ibadah haji yang sah secara syariat dan dilaksanakan dengan sempurna. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun mengartikannya sebagai ibadah haji yang diterima Allah karena telah memenuhi semua rukun dan syaratnya dengan benar.
Namun, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan perspektif yang lebih mendalam, menekankan bahwa Haji Mabrur bukan hanya soal validitas ritual, tetapi yang lebih esensial adalah terjadinya perubahan karakter positif yang signifikan setelah seorang Muslim menunaikan seluruh rukun dan kewajiban haji.
Dalam sebuah kajian yang diunggah di kanal YouTube Adi Hidayat Official, UAH menguraikan bahwa inti dari Haji Mabrur terletak pada keterkaitan erat antara prosesi ritual haji dengan perbaikan akhlak dan penyucian jiwa.
Menurutnya, seorang jemaah mulai menapaki jalan menuju derajat mabrur ketika di Padang Arafah ia khusyuk beristigfar, merenungi dan menyadari dosa-dosa serta kekeliruannya, seraya menanamkan komitmen kuat dalam hati untuk meninggalkan segala keburukan tersebut. Momen introspeksi mendalam di Arafah inilah yang menjadi fondasi bagi transformasi diri yang berarti.
Membuang "Sifat Hewani" Melalui Ritual Haji
Perjalanan spiritual ini berlanjut di Muzdalifah, di mana jemaah haji mengumpulkan kerikil untuk ritual melontar jumrah. UAH menyarankan sebuah praktik reflektif: sebelum berangkat ke Tanah Suci, hendaknya setiap calon jemaah melakukan evaluasi diri secara jujur, mencatat sifat-sifat buruk atau kebiasaan negatif yang ingin diperbaiki dan ditinggalkan.
Ritual melontar jumrah, bagi UAH, bukan sekadar aksi melempar batu ke tiang. Lebih dari itu, ia melambangkan upaya sungguh-sungguh untuk "melempar" keluar, melawan, dan membuang sifat-sifat buruk yang selama ini bersemayam dalam diri. Setiap lemparan menjadi simbol perlawanan terhadap hawa nafsu yang kerap menghalangi manusia dari perbuatan baik.
UAH juga menyoroti kesamaan lafaz yang diucapkan saat melontar jumrah dan ketika menyembelih hewan kurban, yaitu “Bismillah Allahu Akbar.”
Beliau menjelaskan, melontar batu dalam ritual jumrah merepresentasikan usaha konkret untuk membuang "sifat-sifat hewani" (kecenderungan naluriah dasar) dalam diri manusia. Sementara itu, penyembelihan hewan kurban melambangkan upaya menundukkan, mengendalikan, dan mengorbankan hawa nafsu yang liar.
Sifat-sifat hewani ini, menurut UAH, berasal dari fitrah manusia sebagai basyar (makhluk biologis) yang memiliki kecenderungan pada syahwat dan hawa nafsu, yang harus senantiasa dikendalikan dan diarahkan pada kebaikan.
Esensi Sejati Haji Mabrur: Perubahan yang Berkelanjutan
Ketika seorang jemaah, melalui prosesi melontar jumrah dan ritual lainnya, berhasil melepaskan dan membersihkan diri dari sifat-sifat buruknya, ia diharapkan kembali dari ibadah haji dalam keadaan yang lebih suci, membawa bekal kebaikan dan karakter yang baru. Inilah, menurut Ustadz Adi Hidayat, esensi sejati dari Haji Mabrur: sebuah ibadah haji yang tidak hanya sah secara fikih, tetapi juga menghasilkan transformasi karakter yang positif dan berkelanjutan dalam diri seseorang.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengingatkan bahwa setelah menunaikan ibadah haji, seorang Muslim tidak sepantasnya lagi mengkhianati perjuangan besar yang telah ia lakukan pengorbanan fisik, harta, tenaga, dan waktu dengan kembali terjerumus dalam perbuatan maksiat. Allah Subhanahu wa ta'ala menjanjikan surga sebagai balasan bagi mereka yang meraih Haji Mabrur, sehingga menjadi sangat penting untuk menjaga kemabruran tersebut dengan konsistensi dalam beramal saleh dan menjauhi larangan-Nya.
UAH menegaskan bahwa perubahan karakter pasca-haji haruslah nyata dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
"Kepulangan dari Tanah Suci harus menandai lahirnya pribadi yang baru," ujarnya.
Ibadah haji, lanjutnya, bukan sekadar untuk meraih simbol status sosial atau kebanggaan semata, melainkan harus tercermin dalam perbaikan sikap, tutur kata yang lebih terjaga, serta amal perbuatan yang semakin mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi sesama.
Dengan demikian, Haji Mabrur bukanlah melulu soal kelengkapan dan kesempurnaan pelaksanaan ritual semata. Lebih jauh, ia adalah tentang ketulusan niat untuk memperbaiki diri, kesungguhan dalam menjalani proses penyucian jiwa selama di Tanah Suci, dan yang terpenting, menjaga komitmen kepada Allah Subhanahu wa ta'ala untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan setelah kembali ke tanah air.